AS Dinilai Langgar Hukum Internasional Akui Yerusalem Ibu Kota Israel


Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dinilai melanggar hukum internasional karena memberikan pengakuan atas Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel. Indonesia pun diminta bersikap tegas atas sikap AS itu. 

"Tindakan Presiden Trump mengumumkan pengakuan AS atas Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel melanggar hukum internasional dan membahayakan proses perdamaian di Timur Tengah," kata anggota Komisi I DPR RI Charles Honoris kepada detikcom, Kamis (7/12/2017). 

Dikatakannya, Dewan Keamanan PBB dalam beberapa dekade terakhir sudah mengeluarkan berbagai resolusi yang menegaskan bahwa pendudukan Israel atas sebagian wilayah Yerusalem ilegal. 

 
"Sebuah Resolusi DK PBB itu final dan mengikat bagi seluruh negara anggota PBB termasuk Amerika Serikat," kata Charles.

Charles menyebut DK PBB pernah mengeluarkan Resolusi 242 tahun 1967 yang memerintahkan Israel untuk mengembalikan wilayah-wilayah yang direbutnya melalui perang termasuk Yerusalem. 
Baca juga : Anggota Komisi I Apresiasi Jokowi Tunjuk Marsekal Hadi Tjahjanto Calon Panglima TNI

"Lalu ada Resolusi 476 DK PBB tahun 1980 dimana PBB tidak mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel dan memerintahkan seluruh negara anggota PBB untuk memindahkan kedutaan besarnya dari kota Yerusalem. Buntutnya tidak ada satu negara pun hari ini yang memiliki kedutaan besar di Yerusalem," tegasnya. 

"Pemerintah RI harus segera mengutuk langkah AS yang memberikan pengakuan atas Yerusalem sebagai Ibu Kota negara Israel," sambungnya. 

Di dalam forum PBB, Indonesia diminta harus menyuarakan dan mengingatkan agar resolusi-resolusi DK PBB terkait Yerusalem bisa ditegakkan. Bahkan, lanjut Charles, Indonesia bisa berperan dalam menggalang negara-negara anggota PBB untuk menginisiasi sebuah resolusi dalam forum Sidang Umum PBB yang menegaskan kembali bahwa Yerusalem bukan Ibu Kota Israel. 

"Langkah terakhir Trump ini sangat membahayakan proses perdamaian yang sudah diupayakan selama puluhan tahun. Bahkan ini bisa menjadi amunisi tambahan bagi kelompok-kelompok yang kerap membajak isu Palestina untuk menyebarkan paham radikal dan melakukan aksi-aksi terorisme," kata Charles.
Sumber : Detik

Related Posts:

Anggota Komisi I Apresiasi Jokowi Tunjuk Marsekal Hadi Tjahjanto Calon Panglima TNI


Anggota Komisi I DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Charles Honoris mengapresiasi keputusan Presiden Joko Widodo memilih Marsekal TNI Hadi Tjahjanto sebagai calon Panglima TNI.
Hadi akan menggantikan Jenderal TNI Gatot Nurmantyo yang memasuki masa pensiun pada Maret 2018.
"Keputusan itu sudah mengacu pada UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI bahwa posisi Panglima TNI sebaiknya dijabat secara bergantian dari tiap-tiap matra, yang sedang atau menjabat kepala staf angkatan," ujar Charles melalui pesan singkat, Senin (4/12/2017).
Keputusan Presiden tersebut dinilai sebagai langkah cepat dalam menjawab tantangan dan kebutuhan mendesak soal pertahanan negara.
Charles berharap, Hadi dapat melanjutkan agenda reformasi di tubuh TNI dan TNI menjadi semakin profesional dalam menjalankan tugasnya.
"TNI harus selalu sigap dalam menjawab setiap perubahan yang terjadi begitu cepat seperti geopolitik, geoekonomi, geostrategi kawasan dan persaingan global. Publik juga berharap agar pemerintahan Jokowi bisa segera merealisasikan Indonesia sebagai poros maritim dunia," ujar Charles.
Jelang tahun politik 2018 dan 2019, Charles sekaligus berharap agar Hadi dapat memastikan netralitas TNI.
Komisi I DPR selanjutnya akan melaksanakan uji kepatutan dan kelayakan terhadap Hadi. Namun, ia belum dapat memastikan jadwalnya. Pihaknya akan melakukan koordinasi terlebih dahulu.
Sumber : Kompas

Related Posts:

Menyangkut Keamanan Negara, UU Perlindungan Data Pribadi Dibutuhkan


Anggota Komisi I DPR Charles Honoris mengatakan, hingga saat ini belum rencana DPR untuk membahas RUU tentang Perlindungan Data Pribadi. Apalagi, RUU tersebut sama sekali belum dibahas untuk masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas).
"Belum (masuk prolegnas). Namun, kami akan melihat kebutuhan mendesak terkait persoalan ini. Apalagi, jika ini menyangkut keamanan negara," ujar Charles di kompleks parlemen Senayan Jakarta, Selasa (27/11).
Terkait dengan sikap pemerintah untuk penuntasan RUU Perlindungan Data Pribadi (data protection and privacy act), Charles mengatakan, saat ini soal itu masih berpegang pada Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 20 Tahun 2016, tertanggal 1 Desember 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik.
Berdasarkan peraturan menteri tersebut, pemerintah dapat menerapkan sanksi administrasi sampai dengan pencabutan izin apabila terjadi pelanggaran. Menurut politisi PDIP itu, variable yuridiksi virtual terhadap perlindungan data pribadi dengan program registrasi ulang kartu prabayar diperlukan untuk membuat regulasi keamanan dan perlindungan data privasi, khususnya dalam transaksi daring.
Sampai saat ini, Indonesia belum mempunyai undang-undang yang khusus mengatur dan menjamin perlindungan data pribadi, baik yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta.
"Harus ada koordinasi terkait kementerian-kementerian yang menyangkut itu semua. Data digital, termasuk regulasi di dalamnya adalah domain Kemkominfo. Terkait data kependudukan, domain Kemdagri, dan terkait keamanan juga Kementerian Pertahanan, terkait regulasi BSSN domainnya Kementerian Koordinator Polhukam, dan Kemkumham," katanya.
Sumber : BeritaSatu

Related Posts:

Politisi PDI-P: Di Era Jokowi, Kerja Sama TNI-Polri Makin Baik


Anggota Komisi I DPR, Charles Honoris, memuji sinergi TNI dan Polri di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Menurut dia, kerja sama kedua institusi tersebut dalam menjaga keamanan dan ketertiban di masyarakat semakin baik.
"Di bawah pemerintahan Presiden Jokowi, TNI dan Polri bisa melakukan kerja-kerja bersama yang baik dan mencapai banyak hasil, terutama dalam operasi pengamanan dan menjaga kedaulatan negara," kata Charles dalam keterangan tertulis, Minggu (19/11/2017).
Hal ini disampaikan Charles menanggapi keberhasilan tim gabungan TNI-Polri mengevakuasi warga dua desa di Mimika, Papua, yang ditahan kelompok bersenjata. Charles mengapresiasi keberhasilan tersebut.
"Sinergi TNI-Polri membebaskan sandera dari kelompok bersenjata di Papua patut diapresiasi. Ini adalah bentuk kerja sama kelas satu yang telah menyelamatkan nyawa ratusan anak bangsa," ujarnya.
Politisi PDI-P ini berharap, kerja sama yang baik antara TNI-Polri ini bisa terus dipertahankan. Dengan begitu, kedua institusi bisa terus menjamin berlangsungnya keamanan dan ketertiban di masyarakat.
"Rakyat Indonesia tentunya mengharapkan soliditas dan sinergi TNI-Polri bisa terus berjalan dengan baik. Soliditas kedua institusi inilah yang akan menjamin Indonesia aman," katanya.
Petugas gabungan TNI-Polri sukses mengevakuasi 345 warga di Desa Kimbely dan Utikini, Papua, Jumat (17/11/2017) siang.
Proses evakuasi yang berlangsung dari pukul 11.00 WIT hingga 12.00 WIT itu diwarnai kontak tembak dengan kelompok bersenjata.
Sumber : Kompas

Related Posts:

Politikus PDI Perjuangan Minta Pelaku Presekusi Dihukum Berat


Anggota Komisi I DPR RI Charles Honoris mengapresiasi Polresta Tangerang atas keberhasilan penangkapan pelaku presekusi oleh anak muda di Cikupa, Tangerang.
Hal ini terkait sebuah video yang menggambarkan pria dan wanita ditelanjangi oleh para pelaku hingga viral di media sosial.
"Dalam kesempatan ini saya ingin memberikan dukungan kepada Polres agar konsisten dalam penanganan kasus ini," kata Charles kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan Jakarta, Rabu (15/11/2017).
Politisi PDI Perjuangan ini menegaskan, pelaku persekusi harus diproses hukum dengan ancaman pidana seberat-beratnya.
Begitu juga orang-orang yang mengambil video dan menyebarkannya.
Menurutnya, pelaku presekusi, harus dikenakan pasal 27 ayat 1 UU ITE.
Hal ini perlu dilakukan untuk memberikan rasa keadilan kepada para korban.
"Hal ini mengirimkan pesan kepada publik bahwa masyarakat tidak punya hak untuk main hakim sendiri," katanya.
Charles menambahkan, proses hukum terhadap para pelaku akan mencerminkan profesionalitas Polri yang tentunya diharapkan oleh masyarakat Indonesia.
"Saya percaya lembaga Polri saat ini sudah banyak kemajuan khususnya dalam hal profesionalitas dan etos kerja. Ibi dbuktikan juga dengan meningkatnya persepsi publik yang positif terhadap Polri," katanya.
Sebelumnya diberitakan, Kapolres Tangerang AKBP Sabilul mengungkapkan, ada enam orang yang ditangkap dalam kasus presekusi itu.
Mereka antara lain yakni berinisial C, E, dan A. Mereka masih menjalani pemeriksaan di Polres Tangerang.
"Polres Tangerang akan proses hukum pelaku penganiayaan atau pengeroyokan sesuai pasal 170 KUHP dan atau 335 KUHP yang menyebabkan korban luka-luka sesuai dengan hasil rekaman video yang sudah viral di Medsos," kata Sabilul.
Sumber : Tribunnews

Related Posts:

Asuka Car TV-ATSDI Desak Pemerintah Digitalisasi Penyiaran


Asuka Digital Car TV didukung oleh Asosiasi Televisi Siaran Digital Indonesia (ATSDI) mendesak pemerintah untuk segera mensahkan revisi UU Penyiaran No 32 Tahun 2002 tentang penyiaran. Dengan disahkan revisi UU tersebut, maka akan menjadi landasan utama proses migrasi penyiaran televisi analog menjadi digital.
Payung hukum sangat diperlukan saat ini. Banyak stasiun-stasiun tv yang ingin berinvestasi lebih menjadi terhambat karena tidak adanya payung hukum. Dan kalau payung hukumnya tidak ada, maka tidak bisa siaran, membuat rakyat tidak dapat menikmati. Oleh karena itu diharapkan pemerintah segera mengesahkan RUU penyiaran TV Digital di Indonesia, agar masyarakat dapat menikmati juga” kata Erik Limanto, Direktur Utama Asuka Car TV saat Talkshow TV Digital Indonesia di Jakarta, Kamis (3/11).
Menurut Erik, belum disahkan revisi UU ini, banyak pihak pun jadi saling menunggu dan menjadi terhambat. Terhambat baik dari sisi sosialisasi pengedukasian kepada masyarakat, pengembangan usaha kepada pengusaha dalam negeri, maupun industri-industri sekitar yang terkena dampak domino effect.
“Kami menyuarakan dukungan dan mendorong kemajuan bangsa ini untuk bermigrasi segera dari televisi analog ke digital. Banyak pihak pun sebelum RUU disahkan, mereka telah mempersiapkan langkah yang akan dilakukan apabila meja hijau telah berbicara dan payung hukum ditetapkan,” ujar Erik.
Dia mengungkapkan, belum adanya payung hukum digitalisasi penyiaran ini bisa digolongkan menjadi isu yang serius bagi pihak pemerintah, karena lebih dari 120 negara telah berhasil melakukan Analog Switch Off(ASO) dan berhasil di negaranya menjadi lebih maju dibidang teknologi pertelevisiannya.
“Pokok masalah ini sudah menjalani proses sampai sekitar 10 tahun dan tak kunjung selesai sampai saat ini. Sebenarnya, Apakah yang menjadi hambatan selama ini?” tanya Erik.
Selanjutnya, hingga saat ini digitalisasi penyiaran di Indonesia belum banyak diketahui umum. Salah satunya karena kurangnya edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat. Sebagai contoh, Banyak kali Asuka Car TV, TV Digital mobil terkemuka Indonesia, mengadakan pameran resmi di acara yang terselenggara di Ibukota, pengunjung yang datang masih menanyakan pertanyaan seputar perbedaan antara televisi digital dan analog serta keunggulan bila mereka menggunakan digital.
“Misi kami untuk membantu mengedukasi masyarakat luas dan menyadarkan masyarakat tentang pentingnya digital serta keuntungan dari migrasi pertelevisian ini. Selain itu juga agar bisa mendukung dan mendorong stasiun televisi lainnya untuk melakukan peralihan dan perluasan lingkup siaran hingga ke daerah-daerah di seluruh Indonesia, serta menggaungkan kebutuhan digitalisasi TV Indonesia yang sudah sangat mendesak, supaya mendapat perhatian khusus dari pemerintah maupun masyarakat,” tegas Erik.
Sementara, Ketua Umum Asosiasi Televisi Siaran Digital Indonesia (ATSDI) Eris Munandar menuturkan, digitalisasi penyiaran adalah sebuah keniscayaan. Hampir semua negara sudah menerapkan penyiaran digital. Oleh karena itu, dia meminta supaya pemerintah dan juga DPR segera memastikan payung hukum yang jelas, sehingga tidak membuat pelaku industri bingung.
“Demokratisasi penyiaran ada dua, diversity of content dan diversity of ownership. Dan itu akan terimplementasikan, ketika era digitalisasi penyiaran ini terwujud. Karena memang beragam konten dan lainnya. Tidak didominasi oleh konten konten yang hari ini pun menurut catatan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) masih dalam tanda kutip. Jadi saya sepakat, kita sebagai LPS (Lembaga Penyiaran Swasta) kita fokus saja ke konten, karena lewat konten masa depan bangsa dan negara akan terlihat,” tutur Eris.
Lebih jauh, Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Charles Honoris memastikan akhir 2017, revisi UU (Undang-Undang) Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran akan disahkan dan segera diundangkan. Dengan diundangkan revisi UU tersebut, maka akan menjadi landasan utama proses migrasi penyiaran televisi analog menjadi digital.
Menurut Charles, poin-poin alot terkait revisi UU tersebut sudah diputusakan di Baleg (Badan Legislasi). Tinggal menunggu rapat pleno mini untuk meminta pandangan dari fraksi-fraksi di DPR, dan setelah itu langsung diputuskan untuk diundangkan.
“Tinggal tunggu rapat pleno terakhir. Jadi, tinggal selangkah lagi. Saya optimis, akhir tahun ini sudah bisa diundangkan, sehingga tahun depan yang analog sudah bisa di switch off, dan menjadi digital,” kata Charles.
Charles menjelaskan, tarik ulur revisi UU yang sudah memakan waktu 10 tahun ini, disebabkan terdapat banyak kepentingan stakeholder yang berseliweran di dalamnya. Selain itu, karena frekuensi adalah sumber daya yang terbatas dan harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk kepentingan publik, maka pembahasannya pun perlu hati-hati dan memakan waktu yang cukup lama.
“Banyak kepentingan di dalamnya, sehingga pemabahasannya agak lambat. Pembasahan UU penyiaran ini merupakan yang terlama, karena memakan waktu 10 tahun. Ini masuk dalam sejarah pemabahasan revisi di DPR,” ujar Charles.
Sumber : BeritaSatu

Related Posts:

DPR Janjikan RUU Penyiaran Rampung Tahun Ini


Pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Penyiaran yang masih dalam pembahasan DPR menyisakan sebuah kegelisahan besar.
Perkembangan penyiaran Indonesia sudah tertinggal dengan negara lainnya. Perlu diketahui, di Asia Tenggara tinggal Indonesia dan Myanmar yang belum beralih ke digitalisasi penyiaran.
Belum lagi para pelaku TV digital yang sudah tak sabar menggunakan konten digital yang selama ini sudah bosan dengan ujicoba tanpa ada realisasi penyiaran.
"Cita-cita menjadikan Indonesia sebagai negara yang kuat dalam ekonomi digital tidak akan terwujud," tandas Staf Ahli Kementerian Komunikasi dan Informasi, Diani Citra di sela-sela diskusi 'Televisi Digital Indonesia, Terlambat atau Diperlambat' di di Jakarta, Kamis (2/11/2017).
Sependapat dengan Citra, Eris Munandar, Ketua Asosiasi Televisi Siaran Digital Indonesia (ATSDI) malah melihat masih menggantungnya penyelesaian RUU Penyiaran ini sengaja diperlambat.
"Kalau bilang diperlambat, saya rasa benar. Kami khawatir jika DPR terus menunda pengesahan RUU Penyiaran hingga tahun depan, bahaya itu. Jelang 2019 anggota DPR sudah sibuk mempersiapkan Pemilu Legislatif dan Presiden.
Mereka akan sibuk di Daerah Pemilihan (Dapil)-nya masing-masing," ujar Eris.
Saat ditanya adakah keterlibatan pengusaha dalam tarik menariknya pengesahan RUU Penyiaran ini, keduanya membenarkan.
"Ya, ada tarik menarik kepentinga pengusaha disini," tandas Citra.
Bahkan Eris mengaku sempat bingung dengan munculnya istilah 'Hybrid' saat DPR akan mengambil keputusan apakan akan menggunakan single atau multi mux operator sebagai penyelenggara infrastruktur multipleksing digital.
"Saya nggak tahu istilah itu muncul darimana. Padahal waktu itu opsinya cuma dua, single atau multi mux operator," tandas Eris.
Anggota Komisi I DPR, Charles Honoris juga tak menampik adanya kepentingan tertentu yang bermain dalam penetapan RUU Penyiaran ini.
"Ada beberapa fraksi yang memang terlihat sengaja mengulur-ulur. Tapi saya optimis ini akan selesai di akhir tahun ini. Saat ini pembahasan sudah sampai di Badan Legislatif (Baleg) sudah mengarah pada single mux. Selangkah lagi akan ke paripurna," jelas Charles.
Ia juga mengingatkan jika operator dan pelaku industri penyiaran agar fokus pada persiapan konten.
"Jangan jadi juragan frekuensi," tegas Charles.
Sumber : Warta Kota

Related Posts:

Anggota Komisi I Minta AS Jelaskan Alasan Larangan Masuk Terhadap Panglima TNI


Anggota Komisi I DPR Charles Honoris meminta Pemerintah AS menjelaskan alasannya melarang Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo ke negara tersebut.
Menurut Charles, persoalan insiden Panglima TNI bukan terkait pencabutan izin masuk ke Amerika Serikat.
"Pemerintah AS harus menjelaskan ke pemerintah Indonesia Otoritas mana di AS yang meminta pihak CBP untuk menolak entry bagi Gatot dan dengan alasan apa," ujar Charles Honoris kepadaTribunnews.com, Senin (23/10/2017).
Politikus PDIP itu menilai larangan masuk tersebut dikeluarkan secara mendadak.
Menurut Charles, insiden yang dialami Gatot Nurmantyo dapat dilihat sebagai penolakan terhadap pemerintah Indonesia.
Apalagi, tegas dia, Panglima TNI berangkat ke AS atas undangan dari otoritas pertahanan Negera Paman Sam tersebut.
Dimana, Jenderal Gatot resmi mewakili pemerintah Indonesia.
Oleh karenanya, penjelasan resmi dari pemerintah AS dibutuhkan agar hubungan bilateral Indonesia-AS tidak terganggu.
"Bagaimanapun AS adalah mitra strategis bagi Indonesia khususnya di bidang perdagangan dan pemberantasan terorisme," tegasnya.
Amerika Serikat telah memastikan mencabut larangan atas kedatangan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo ke wilayahnya.
Hal tersebut disampaikan Wakil Duta Besar AS di Indonesia ketika menggelar pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi di Kantor Kemenlu, Jakarta Pusat pada Senin (23/10/2017).
"Mereka menyampaikan larangan itu juga tidak ada, sudah dicabut dan Jenderal Gatot (sudah diperbolehkan) untuk melanjutkan kunjungannya ke AS," ujar Menlu Retno di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Senin.
Selain itu, melalui Wakil Dubes AS, Pemerintah AS secara resmi melayangkan permohonan maaf atas peristiwa pelarangan itu. Pemerintah AS, menurut Retno, mengakui bahwa kebijakannya itu menyebabkan ketidaknyamanan hubungan Indonesia-AS.
AS pun berharap Jenderal Gatot tetap datang ke Negara Abang Sam itu demi memenuhi undangan Panglima Angkatan Bersenjata Amerika Serikat (AS) Jenderal Joseph F Dunford dalam acara Chiefs of Defense Conference on Countering Violent Extremist Organization pada 23-24 Oktober di Washington DC.
"Jadi mereka bilang, sangat menyambut baik kunjungan (Gatot) dan tidak ada pembatasan dalam bentuk apa pun, dan terdapat keinginan dari Jenderal Dunford untuk berkomunikasi dengan Panglima. Mereka sedang mengatur komunikasi tersebut," ujar Menlu Retno.
Gatot Nurmantyo dilarang masuk ke wilayah AS pada Sabtu (21/10/2017). Saat itu Panglima TNI beserta delegasi masih berada di Bandara Soekarno-Hatta dan hendak check in.
"Panglima TNI siap berangkat menggunakan maskapai penerbangan Emirates. Namun beberapa saat sebelum keberangkatan ada pemberitahuan dari maskapai penerbangan bahwa Panglima TNI beserta delegasi tidak boleh memasuki wilayah AS," kata Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Wuryanto di Kantor Panglima TNI, Jakarta Pusat, Minggu.
Padahal, saat itu, Gatot dan delegasi sudah mengantongi visa dari AS untuk hadir dalam acara Chiefs of Defense Conference on Countering Violent Extremist Organization.
Panglima TNI diundang secara resmi oleh Panglima Angkatan Bersenjata Amerika Serikat (AS). Jenderal Joseph F. Dunford yang merupakan sahabat sekaligus senior.
Gatot telah melaporkan kejadian ini pada Presiden Joko Widodo, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi dan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto.
Ia juga telah mengirim surat kepada Jenderal Dunford untuk mempertanyakan insiden tersebut.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Retno LP Masudi menjelaskan, KBRI di Washington D.C telah mengirim nota diplomatik kepada Kementerian Luar Negeri AS untuk meminta klarifikasi.
Menlu Retno juga sudah melakukan pembicaraan melalui telepon dengan duta besar AS untuk Indonesia. Kebetulan, Dubes AS tidak berada di Jakarta. Rencananya, Retno juga akan memanggil Wakil Dubes AS pada Senin (23/10/2017).
Permintaan maaf juga telah disampaikan Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Joseph Donovan.
Dalam pernyataan tertulis juga menyebutkan bahwa Kedutaan Besar Amerika akan memfasilitasi keberangkatan Gatot ke Amerika.
"Duta Besar Amerika Serikat Joseph Donovan telah meminta maaf kepada Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Retno Marsudi atas ketidaknyamanan yang dialami Jenderal Gatot," demikian pernyataan tertulis Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia yang dimuat di laman resmi Kedutaan Besar Amerika Serikat, Minggu (22/10/2017).
Sumber : Tribunnews

Related Posts:

Politikus PDIP Minta Polri Bongkar Jaringan Lain Setelah Saracen


Anggota Komisi I DPR Charles Honoris meminta kepolisian membongkar jaringan penyebar isu SARA lainnya yang serupa dengan grup Saracen. Dia mengatakan masih ada puluhan ribu situs hoax yang digunakan untuk penyerangan terkait pemilu.

"Saya mendapatkan informasi bahwa ada jutaan akun dan puluhan ribu situs hoax yang sudah disiapkan untuk menghadapi perhelatan politik di tahun 2018 dan 2019," ujar Charles dalam keterangan tertulis, Jumat (25/8/2017).

Charles menuturkan hal tersebut dapat mengancam persatuan bangsa karena bisa memecah belah suara rakyat.

"Tentunya hal ini dapat mencederai iklim demokrasi yang sehat menjelang pilkada dan pemilu, dan lebih lagi mengancam persatuan bangsa," kata Charles.
Politikus PDIP itu meminta Polri bisa mengungkap dan menangkap jaringan-jaringan lainnya. Sebab, menurut Charles, penyebaran hoax dan ujaran kebencian adalah pelanggaran pidana yang mengacu pada UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

"Oleh karena itu, saya berharap Polri terus melanjutkan pengungkapan dan penangkapan jaringan-jaringan lain yang menyebarkan ujaran kebencian dan hoax di media sosial," ucapnya.

Menurut Charles, ujaran kebencian dapat memicu konflik horizontal. Juga memperbanyak masyarakat melakukan radikalisme, bahkan aksi terorisme.

"Oleh karena itu, ujaran kebencian harus kita lawan bersama. Ditunggu pengungkapan dan penangkapan selanjutnya," tutur Charles.
Sebelumnya, polisi menangkap tiga pelaku berinisial JAS, MFT, dan SRN. Mereka dijerat dengan Pasal 45A ayat 2 jo Pasal 28 ayat 22 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU ITE dengan ancaman 6 tahun penjara dan/atau Pasal 45 ayat 3 jo Pasal 27 ayat 3 UU ITE dengan ancaman 4 tahun penjara.

Kepolisian menyebut kelompok Saracen sering menawarkan jasa untuk menyebarkan ujaran kebencian bernuansa SARA di media sosial. Setiap proposal mempunyai nilai hingga puluhan juta rupiah.
Sumber: Detik

Related Posts:

Charles PDIP Apresiasi Polri Tangkap Sindikat Saracen


Keberhasilan Polri dalam mengungkap dan menangkap para pelaku kasus penyebar konten hoax dan ujaran kebencian serta konten yang bernada provokatif dengan isu SARA di berbagai media sosial patut diacungi jempol. Ini merupakan prestasi dari penegakan hukum di Indonesia.
"Polisi sudah melakukan tugasnya dengan menindak dan menangkap para pelaku penyebar hoax. Maka hal ini juga perlu diimbangi dengan dukungan dan peran serta seluruh masyarakat," kata Anggota Komisi I DPR Fraksi PDIP Charles Honoris dalam keterangan tertulis, Rabu (23/8/2017).
Dia menyatakan para pelaku yang tertangkap berasal dari berbagai lapisan masyarakat. Hal ini yang masih perlu menjadi perhatian serius tentang pemahaman Undang-undang Nomor 19 tahun 2016 tentang informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
"Upaya penegakan hukum terkait kasus hoax dan penyebaran kebencian memang tidak mudah karena juga harus melakukan pelacakan identitas oknum pelaku yang sebenarnya," ujar dia.
Seperti halnya keberhasilan Polri dalam membongkar kejahatan siber oleh jaringan Saracen yang melakukan banyak pelanggaran hukum terkait ITE. Hal ini juga menunjukkan adanya pihak-pihak ataupun jaringan kuat yang terorganisir yang secara sengaja menyebarkan keresahan masyarakat melalui ujaran kebencian ataupun hoax.
"Yang sangat mengkhawatirkan dari terbongkarnya sindikat Saracen ini adalah bawa ada motif transaksional antara sindikat penyebar kebencian dengan pihak yang memanfaatkan jasa sindikat tersebut untuk kepentingan yang sangat tidak terpuji," kata Charles.
Sumber: Liputan6

Related Posts:

Charles Honoris: Dana Untuk Pos Perbatasan Harus Memadai


Anggota Komisi I DPR Charles Honoris mengatakan, pihaknya berkomitmen kuat untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit TNI. Komitmen anggaran pertahanan dan TNI terus ditingkatkan hingga mendekati dua persen dari produk domestik bruto (PDB) di masa mendatang.
“Untuk anggaran Kementerian Pertahanan dan TNI kita mengikuti komitmen yang ada telah disepakati di komisi I yakni mendekati dua persen PDB,” ujar Charles Honoris di kompleks parlemen, Senayan Jakarta, Rabu (16/8).
Peningkatan anggaran di Kemhan dan TNI juga tidak hanya untuk menambah alutista, tetapi juga untuk peningkatan anggaran intelijen. Sebab, fungsi intelijen sangat strategis untuk melindungi Indonesia dari berbagai ancaman.
Menurut politisi PDI Perjuangan itu, selama ini Komisi I tidak pernah menolak permintaan peningkatan kesejahteraan untuk prajurit TNI. Bahkan, Komisi I juga mendorong peningkatkan kesejahteraan purnawirawan TNI yang hingga saat ini banyak belum memiliki rumah tinggal sendiri.
“Jadi peningkatan kesejahteraan tidak hanya untuk anggota TNI tetapi juga pensiunan. Kita dorong agar mereka (pensiunan) punya rumah,” katanya.
Peningkatan anggaran untuk kesejahteraan prajurit dinilai sangat penting agar TNI semakin profesional dalam melaksanakan tugas-tugas negara. Selain itu, peningkatan anggaran juga sangat penting terutama untuk pembangunan pos-pos perbatasan.
“Anggaran untuk membangun pos-pos perbatasan harus memadai karena fungsinya sangat vital dalam menjaga dan melindungi wilayah NKRI,” tandasnya.
Sumber: BeritaSatu

Related Posts:

Pemberian Senjata Api Kepada Gubernur Dinilai Tak Perlu


Pemberian senjata api oleh TNI kepada gubernur Bali, NTT dan NTB ditentang oleh sejumlah pihak karena dianggap tidak dilandasi alasan mendesak.
Anggota DPR Komisi I Charles Honoris menilai pemberian senjata bagi tiga gubernur yaitu Bali, NTT dan NTB melanggar undang-undang.
"Kami meningkatkan anggaran TNI dari tahun ke tahun agar bisa fokus mempertahankan keamanan perbatasan, misalnya. Ketika anggaran yang kami tingkatkan untuk bagikan senjata itu bukan merupakan sesuatu yang kita bahas dalam rapat TNI dan DPR. Menurut saya, tidak lazim dan melanggar aturan," kata Charles.
Charles mengatakan warga sipil dapat memiliki senjata api tetapi harus melalui persetujuan dan tes psikologi oleh kepolisian, dan itu pun hanya untuk digunakan latihan menembak ataupun olahraga.
Ditambahkannya pemberian senjata oleh TNI pada gubernur harus dihentikan.
"Menurut saya program seperti ini harus dihapuskan, dan tidak dilanjutkan lagi. Senjata yang dibagikan harus ikut peraturan Mabes Polri, karena yang boleh menggunakan di dalam negeri itu penegak hukum yaitu kepolisian dan kalau toh sipil itu harus sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan kepolisian," kata anggota DPR dari Fraksi PDIP ini.
Beberapa hari lalu, Panglima Kodam Udayana Mayjen TNI Komaruddin Simanjuntak memberikan senjata api genggam atau pistol kepada tiga gubernur setelah para gubernur mengikuti pelatihan Pasukan Pemukul Reaksi Cepat PPRC di Natuna pada Mei lalu.

'Untuk pribadi?'

Komarudin dalam keterangan kepada wartawan menyatakan pemberian ini merupakan bentuk penghargaan bagi para gubernur dan bukan karena ada ancaman.
"Tidak ada kaitan dengan ancaman pemberian senjata kepada gubernur. Tidak ada. Statusnya adalah untuk pribadi pada yang bersangkutan. Kontrolnya kan ada suratnya itu, supaya rakyat mengerti bahwa di gubernur itu ada senjata," kata Komaruddin kepada wartawan usai acara penyerahan di Bali Kamis (10/08) pekan lalu.
Di Indonesia, aturan kepemilikan senjata api merujuk pada Perppu no 20 tahun 1960, dan dua aturan teknis melalui keputusan Kapolri dan Kementerian Pertahanan. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertahanan No 7/2010, perorangan dapat memiliki senjata api dengan pembatasan, yaitu pejabat pemerintah tertentu, atlet menembak dan kolektor.
Direktur Imparsial Al Araf mengatakan pemberian senjata api kepada para gubernur juga tidak tepat karena mereka sudah dikawal kepolisian dan juga Satpol PP.
"(dalam aturan) Pejabat tertentu boleh, tetapi yang memang secara nilai strategis itu dirinya terancam, seperti di Papua itu diperbolehkan. Untuk di wilayah yang damai perlu dipertimbangkan, yang menilai situasi dan kondisi terancam kan kepolisian," jelas Al Araf.
"Panglima itu tidak bisa memberikan senjata api sebagai hadiah. Itu bahaya," tambah dia.
Al Araf mengatakan aturan untuk mengontrol peredaran senjata api dan juga bahan peledak di Indonesia masih lemah.
"Ada dua pintu; satu dari izin kepolisian, dan pengaturan oleh Kementerian Pertahanan. Terkait dengan hal itu ini harus diperbaiki oleh pemerintah dengan menbuat setingkat UU masa Orde Lama sekaligus menyelesaikan persoalan kontroversi senjata dan bahan peledak menjadi satu pintu, tidak dua pintu lagi.
"Ini kan harus ditata, supaya penggunaan senjata api di Indonesia terkontrol dengan baik. Kalau tidak terkontrol itu akan membuka peluang kejahatan" jelas Al Araf.
Al Araf menyatakan aturan kepemilikan senjata api dan bahan peledak harus diperketat agar tidak ada penyalahgunaan senjata api.
Sumber: BBCINDONESIA

Related Posts:

Indonesia Still Debating Legal Loophole Allowing Terror Suspects To Go Free


In the early hours of Jun 25 this year, as Indonesia ushered in the holy Eid Fitr celebrations, two men scaled the fence of a police headquarters in Medan, North Sumatra and shouted “Allahu Akabar” (God is great) before stabbing an officer dead.
The attackers then tried to burn down the regional police headquarters before police opened fire, killing one of the attackers and wounding another.
The surviving attacker, Syawaluddin Pakpahan, 43, was a returnee from Syria who fought with the Free Syrian Army (FSA) for some six months before returning home at the end of 2013, Indonesian police said. 
When Pakpahan returned home, he was not detained by the police. Under Indonesia’s anti-terrorism law 15/2003, terror activities committed outside of the country cannot be prosecuted back home.
“Authorities knew Pakpahan is a returnee from Syria. But under the terrorism law, the police have no right to detain him unless he has committed a crime in Indonesia,” a counter-terrorism source told Channel NewsAsia, adding that Pakpahan has since been held following the Medan attack.
The gap in the terrorism law poses problems for Indonesia in its fight against militants and members of the Islamic State (IS), with ramifications for the rest of the region.
Around 400 returnees from Syria, some of whom were involved with IS, are not detained in the world’s largest Muslim country.
“Even if they (returnees) beheaded someone in Syria, under the current law we have no right to detain them unless they committed acts of terror in Indonesia,” Indonesian national police chief spokesman Setyo Wasisto, told Channel NewsAsia.
“The fact that they are free is dangerous as some of the returnees are radical and can brainwash others. They return home, lie low and become sleeping cells. When the moment is right, when they have weapons, they will launch attacks,” said Wasisto.
In Singapore, IS suspects can be held under the Internal Security Act (ISA) which provides for detention without trial for up to two years. In Malaysia, there are 8 returnees from Syria who were held under the Security Offences (Special Measures) Act 2012 (SOSMA), which provides for detention for up to 28 days. All eight have since been brought to trial and jailed, according to police.
Medan attacker Pakpahan was a classic example of a militant who lied low for years.
“He was monitored for three years. During that time, he did not join any militant network. There was nothing suspicious about his behavior. Perhaps that is a skill acquired from Syria,” said the counter-terrorism source.
“He took us by surprise. He was inspired to launch the knife attack following calls from IS to carry out attacks via the internet,” the source added.
“Out of the 400 returnees, police are monitoring around 300 for links to IS,” said police spokesman Martinus Sitompul.
The returnees are also not banned from travelling as they retain the right to hold their passports, worrying regional security officers over the possibility of radicalized individuals travelling to neighbouring countries to launch attacks.
“This is worrying as the returnees could potentially travel to Malaysia, Singapore, southern Philippines, sneak in and launch attacks,” aregional security source told Channel NewsAsia.
“They could also go to Marawi in the southern Philippines and take part in the fight there,” the security source added.
The city of Marawi is under siege by pro-ISIS militant groups which have held off the military for almost three months. The fighting has killed more than 700 people and drawn foreign fighters from Malaysia, Indonesia, Chechnya and Yemen.
Analysts have warned that IS has plans to carve out territory for the group in the southern Philippines as the area is awash with weapons and has many ungoverned spaces.
Indonesia’s terrorism law was hastily drawn up in 2003 in the aftermath of the 2002 Bali bombings which killed 202 people, to give a legal framework for Indonesian police to hunt and prosecute the perpetrators.
The law is seen by some observers to be lacking in preventive measures and inadequate in dealing with evolving terror threats.
While the law makes it illegal for anyone to run a terrorist cell, it falls short of extending punishment to anyone pledging support to or joining groups such as IS.
Revisions to the law are currently being debated in Parliament , a process which has taken more than a year. Lawmakers recently said they expect the debate to be completed by September.
President Joko Widodo has called upon Parliament to speed up the conclusion of the debate following twin suicide bombings in May at the Kampung Melayu bus terminal in Jakarta which killed three police officers and the two attackers.
In the meantime, terror threats have grown and taken on greater urgency as IS loses territories in the Middle East, driving its Asian foreign fighters to return home, radicalized and equipped with para-military training.
Amongst the proposed amendments is the right for authorities to detain and confiscate the passport of citizens who went abroad to join militant groups.
They also face the prospect of a maximum jail sentence of 15 years, if found guilty of taking part in paramilitary training inside and outside of the country, with the aim of planning or carrying out acts of terrorism. 
“Syrian returnees who are IS ideologues are the most dangerous as they are very radical. They consider everything at home (in Indonesia) to be infidel - infidel government, fellow Muslims who don’t share their views are also infidels,” said independent terrorism analyst Hasibullah Satrawi.
“The urge to carry out attacks against what they consider to be infidel is very strong. It is part of their breathing,” said Hasibullah.
“It is important for them to undergo the legal process so that if they are jailed, they can receive rehabilitation to undergo a de-radicalisation programme. Having said that, it is very difficult to rehabilitate the ideologues,” said Hasibullah.
IS returnees who subscribe to the terror group’s ideology reject the teachings of Muslim clerics who are not from IS, according to Hasibullah.
Charles Honoris, a legislator from the Indonesia Democratic Party-Struggle (PDIP), said the amendments also seek to criminalise hate speech, which he viewed as a root of terrorism.
“Police will then be able to prosecute hate speech and intolerance which are the roots of terrorism and radicalization as it spreads hatred,” Honoris told Channel NewsAsia.
Sumber: CHANNELNEWSASIA

Related Posts: