Politikus PDIP Minta Polri Bongkar Jaringan Lain Setelah Saracen


Anggota Komisi I DPR Charles Honoris meminta kepolisian membongkar jaringan penyebar isu SARA lainnya yang serupa dengan grup Saracen. Dia mengatakan masih ada puluhan ribu situs hoax yang digunakan untuk penyerangan terkait pemilu.

"Saya mendapatkan informasi bahwa ada jutaan akun dan puluhan ribu situs hoax yang sudah disiapkan untuk menghadapi perhelatan politik di tahun 2018 dan 2019," ujar Charles dalam keterangan tertulis, Jumat (25/8/2017).

Charles menuturkan hal tersebut dapat mengancam persatuan bangsa karena bisa memecah belah suara rakyat.

"Tentunya hal ini dapat mencederai iklim demokrasi yang sehat menjelang pilkada dan pemilu, dan lebih lagi mengancam persatuan bangsa," kata Charles.
Politikus PDIP itu meminta Polri bisa mengungkap dan menangkap jaringan-jaringan lainnya. Sebab, menurut Charles, penyebaran hoax dan ujaran kebencian adalah pelanggaran pidana yang mengacu pada UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

"Oleh karena itu, saya berharap Polri terus melanjutkan pengungkapan dan penangkapan jaringan-jaringan lain yang menyebarkan ujaran kebencian dan hoax di media sosial," ucapnya.

Menurut Charles, ujaran kebencian dapat memicu konflik horizontal. Juga memperbanyak masyarakat melakukan radikalisme, bahkan aksi terorisme.

"Oleh karena itu, ujaran kebencian harus kita lawan bersama. Ditunggu pengungkapan dan penangkapan selanjutnya," tutur Charles.
Sebelumnya, polisi menangkap tiga pelaku berinisial JAS, MFT, dan SRN. Mereka dijerat dengan Pasal 45A ayat 2 jo Pasal 28 ayat 22 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU ITE dengan ancaman 6 tahun penjara dan/atau Pasal 45 ayat 3 jo Pasal 27 ayat 3 UU ITE dengan ancaman 4 tahun penjara.

Kepolisian menyebut kelompok Saracen sering menawarkan jasa untuk menyebarkan ujaran kebencian bernuansa SARA di media sosial. Setiap proposal mempunyai nilai hingga puluhan juta rupiah.
Sumber: Detik

Related Posts:

Charles PDIP Apresiasi Polri Tangkap Sindikat Saracen


Keberhasilan Polri dalam mengungkap dan menangkap para pelaku kasus penyebar konten hoax dan ujaran kebencian serta konten yang bernada provokatif dengan isu SARA di berbagai media sosial patut diacungi jempol. Ini merupakan prestasi dari penegakan hukum di Indonesia.
"Polisi sudah melakukan tugasnya dengan menindak dan menangkap para pelaku penyebar hoax. Maka hal ini juga perlu diimbangi dengan dukungan dan peran serta seluruh masyarakat," kata Anggota Komisi I DPR Fraksi PDIP Charles Honoris dalam keterangan tertulis, Rabu (23/8/2017).
Dia menyatakan para pelaku yang tertangkap berasal dari berbagai lapisan masyarakat. Hal ini yang masih perlu menjadi perhatian serius tentang pemahaman Undang-undang Nomor 19 tahun 2016 tentang informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
"Upaya penegakan hukum terkait kasus hoax dan penyebaran kebencian memang tidak mudah karena juga harus melakukan pelacakan identitas oknum pelaku yang sebenarnya," ujar dia.
Seperti halnya keberhasilan Polri dalam membongkar kejahatan siber oleh jaringan Saracen yang melakukan banyak pelanggaran hukum terkait ITE. Hal ini juga menunjukkan adanya pihak-pihak ataupun jaringan kuat yang terorganisir yang secara sengaja menyebarkan keresahan masyarakat melalui ujaran kebencian ataupun hoax.
"Yang sangat mengkhawatirkan dari terbongkarnya sindikat Saracen ini adalah bawa ada motif transaksional antara sindikat penyebar kebencian dengan pihak yang memanfaatkan jasa sindikat tersebut untuk kepentingan yang sangat tidak terpuji," kata Charles.
Sumber: Liputan6

Related Posts:

Charles Honoris: Dana Untuk Pos Perbatasan Harus Memadai


Anggota Komisi I DPR Charles Honoris mengatakan, pihaknya berkomitmen kuat untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit TNI. Komitmen anggaran pertahanan dan TNI terus ditingkatkan hingga mendekati dua persen dari produk domestik bruto (PDB) di masa mendatang.
“Untuk anggaran Kementerian Pertahanan dan TNI kita mengikuti komitmen yang ada telah disepakati di komisi I yakni mendekati dua persen PDB,” ujar Charles Honoris di kompleks parlemen, Senayan Jakarta, Rabu (16/8).
Peningkatan anggaran di Kemhan dan TNI juga tidak hanya untuk menambah alutista, tetapi juga untuk peningkatan anggaran intelijen. Sebab, fungsi intelijen sangat strategis untuk melindungi Indonesia dari berbagai ancaman.
Menurut politisi PDI Perjuangan itu, selama ini Komisi I tidak pernah menolak permintaan peningkatan kesejahteraan untuk prajurit TNI. Bahkan, Komisi I juga mendorong peningkatkan kesejahteraan purnawirawan TNI yang hingga saat ini banyak belum memiliki rumah tinggal sendiri.
“Jadi peningkatan kesejahteraan tidak hanya untuk anggota TNI tetapi juga pensiunan. Kita dorong agar mereka (pensiunan) punya rumah,” katanya.
Peningkatan anggaran untuk kesejahteraan prajurit dinilai sangat penting agar TNI semakin profesional dalam melaksanakan tugas-tugas negara. Selain itu, peningkatan anggaran juga sangat penting terutama untuk pembangunan pos-pos perbatasan.
“Anggaran untuk membangun pos-pos perbatasan harus memadai karena fungsinya sangat vital dalam menjaga dan melindungi wilayah NKRI,” tandasnya.
Sumber: BeritaSatu

Related Posts:

Pemberian Senjata Api Kepada Gubernur Dinilai Tak Perlu


Pemberian senjata api oleh TNI kepada gubernur Bali, NTT dan NTB ditentang oleh sejumlah pihak karena dianggap tidak dilandasi alasan mendesak.
Anggota DPR Komisi I Charles Honoris menilai pemberian senjata bagi tiga gubernur yaitu Bali, NTT dan NTB melanggar undang-undang.
"Kami meningkatkan anggaran TNI dari tahun ke tahun agar bisa fokus mempertahankan keamanan perbatasan, misalnya. Ketika anggaran yang kami tingkatkan untuk bagikan senjata itu bukan merupakan sesuatu yang kita bahas dalam rapat TNI dan DPR. Menurut saya, tidak lazim dan melanggar aturan," kata Charles.
Charles mengatakan warga sipil dapat memiliki senjata api tetapi harus melalui persetujuan dan tes psikologi oleh kepolisian, dan itu pun hanya untuk digunakan latihan menembak ataupun olahraga.
Ditambahkannya pemberian senjata oleh TNI pada gubernur harus dihentikan.
"Menurut saya program seperti ini harus dihapuskan, dan tidak dilanjutkan lagi. Senjata yang dibagikan harus ikut peraturan Mabes Polri, karena yang boleh menggunakan di dalam negeri itu penegak hukum yaitu kepolisian dan kalau toh sipil itu harus sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan kepolisian," kata anggota DPR dari Fraksi PDIP ini.
Beberapa hari lalu, Panglima Kodam Udayana Mayjen TNI Komaruddin Simanjuntak memberikan senjata api genggam atau pistol kepada tiga gubernur setelah para gubernur mengikuti pelatihan Pasukan Pemukul Reaksi Cepat PPRC di Natuna pada Mei lalu.

'Untuk pribadi?'

Komarudin dalam keterangan kepada wartawan menyatakan pemberian ini merupakan bentuk penghargaan bagi para gubernur dan bukan karena ada ancaman.
"Tidak ada kaitan dengan ancaman pemberian senjata kepada gubernur. Tidak ada. Statusnya adalah untuk pribadi pada yang bersangkutan. Kontrolnya kan ada suratnya itu, supaya rakyat mengerti bahwa di gubernur itu ada senjata," kata Komaruddin kepada wartawan usai acara penyerahan di Bali Kamis (10/08) pekan lalu.
Di Indonesia, aturan kepemilikan senjata api merujuk pada Perppu no 20 tahun 1960, dan dua aturan teknis melalui keputusan Kapolri dan Kementerian Pertahanan. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertahanan No 7/2010, perorangan dapat memiliki senjata api dengan pembatasan, yaitu pejabat pemerintah tertentu, atlet menembak dan kolektor.
Direktur Imparsial Al Araf mengatakan pemberian senjata api kepada para gubernur juga tidak tepat karena mereka sudah dikawal kepolisian dan juga Satpol PP.
"(dalam aturan) Pejabat tertentu boleh, tetapi yang memang secara nilai strategis itu dirinya terancam, seperti di Papua itu diperbolehkan. Untuk di wilayah yang damai perlu dipertimbangkan, yang menilai situasi dan kondisi terancam kan kepolisian," jelas Al Araf.
"Panglima itu tidak bisa memberikan senjata api sebagai hadiah. Itu bahaya," tambah dia.
Al Araf mengatakan aturan untuk mengontrol peredaran senjata api dan juga bahan peledak di Indonesia masih lemah.
"Ada dua pintu; satu dari izin kepolisian, dan pengaturan oleh Kementerian Pertahanan. Terkait dengan hal itu ini harus diperbaiki oleh pemerintah dengan menbuat setingkat UU masa Orde Lama sekaligus menyelesaikan persoalan kontroversi senjata dan bahan peledak menjadi satu pintu, tidak dua pintu lagi.
"Ini kan harus ditata, supaya penggunaan senjata api di Indonesia terkontrol dengan baik. Kalau tidak terkontrol itu akan membuka peluang kejahatan" jelas Al Araf.
Al Araf menyatakan aturan kepemilikan senjata api dan bahan peledak harus diperketat agar tidak ada penyalahgunaan senjata api.
Sumber: BBCINDONESIA

Related Posts:

Indonesia Still Debating Legal Loophole Allowing Terror Suspects To Go Free


In the early hours of Jun 25 this year, as Indonesia ushered in the holy Eid Fitr celebrations, two men scaled the fence of a police headquarters in Medan, North Sumatra and shouted “Allahu Akabar” (God is great) before stabbing an officer dead.
The attackers then tried to burn down the regional police headquarters before police opened fire, killing one of the attackers and wounding another.
The surviving attacker, Syawaluddin Pakpahan, 43, was a returnee from Syria who fought with the Free Syrian Army (FSA) for some six months before returning home at the end of 2013, Indonesian police said. 
When Pakpahan returned home, he was not detained by the police. Under Indonesia’s anti-terrorism law 15/2003, terror activities committed outside of the country cannot be prosecuted back home.
“Authorities knew Pakpahan is a returnee from Syria. But under the terrorism law, the police have no right to detain him unless he has committed a crime in Indonesia,” a counter-terrorism source told Channel NewsAsia, adding that Pakpahan has since been held following the Medan attack.
The gap in the terrorism law poses problems for Indonesia in its fight against militants and members of the Islamic State (IS), with ramifications for the rest of the region.
Around 400 returnees from Syria, some of whom were involved with IS, are not detained in the world’s largest Muslim country.
“Even if they (returnees) beheaded someone in Syria, under the current law we have no right to detain them unless they committed acts of terror in Indonesia,” Indonesian national police chief spokesman Setyo Wasisto, told Channel NewsAsia.
“The fact that they are free is dangerous as some of the returnees are radical and can brainwash others. They return home, lie low and become sleeping cells. When the moment is right, when they have weapons, they will launch attacks,” said Wasisto.
In Singapore, IS suspects can be held under the Internal Security Act (ISA) which provides for detention without trial for up to two years. In Malaysia, there are 8 returnees from Syria who were held under the Security Offences (Special Measures) Act 2012 (SOSMA), which provides for detention for up to 28 days. All eight have since been brought to trial and jailed, according to police.
Medan attacker Pakpahan was a classic example of a militant who lied low for years.
“He was monitored for three years. During that time, he did not join any militant network. There was nothing suspicious about his behavior. Perhaps that is a skill acquired from Syria,” said the counter-terrorism source.
“He took us by surprise. He was inspired to launch the knife attack following calls from IS to carry out attacks via the internet,” the source added.
“Out of the 400 returnees, police are monitoring around 300 for links to IS,” said police spokesman Martinus Sitompul.
The returnees are also not banned from travelling as they retain the right to hold their passports, worrying regional security officers over the possibility of radicalized individuals travelling to neighbouring countries to launch attacks.
“This is worrying as the returnees could potentially travel to Malaysia, Singapore, southern Philippines, sneak in and launch attacks,” aregional security source told Channel NewsAsia.
“They could also go to Marawi in the southern Philippines and take part in the fight there,” the security source added.
The city of Marawi is under siege by pro-ISIS militant groups which have held off the military for almost three months. The fighting has killed more than 700 people and drawn foreign fighters from Malaysia, Indonesia, Chechnya and Yemen.
Analysts have warned that IS has plans to carve out territory for the group in the southern Philippines as the area is awash with weapons and has many ungoverned spaces.
Indonesia’s terrorism law was hastily drawn up in 2003 in the aftermath of the 2002 Bali bombings which killed 202 people, to give a legal framework for Indonesian police to hunt and prosecute the perpetrators.
The law is seen by some observers to be lacking in preventive measures and inadequate in dealing with evolving terror threats.
While the law makes it illegal for anyone to run a terrorist cell, it falls short of extending punishment to anyone pledging support to or joining groups such as IS.
Revisions to the law are currently being debated in Parliament , a process which has taken more than a year. Lawmakers recently said they expect the debate to be completed by September.
President Joko Widodo has called upon Parliament to speed up the conclusion of the debate following twin suicide bombings in May at the Kampung Melayu bus terminal in Jakarta which killed three police officers and the two attackers.
In the meantime, terror threats have grown and taken on greater urgency as IS loses territories in the Middle East, driving its Asian foreign fighters to return home, radicalized and equipped with para-military training.
Amongst the proposed amendments is the right for authorities to detain and confiscate the passport of citizens who went abroad to join militant groups.
They also face the prospect of a maximum jail sentence of 15 years, if found guilty of taking part in paramilitary training inside and outside of the country, with the aim of planning or carrying out acts of terrorism. 
“Syrian returnees who are IS ideologues are the most dangerous as they are very radical. They consider everything at home (in Indonesia) to be infidel - infidel government, fellow Muslims who don’t share their views are also infidels,” said independent terrorism analyst Hasibullah Satrawi.
“The urge to carry out attacks against what they consider to be infidel is very strong. It is part of their breathing,” said Hasibullah.
“It is important for them to undergo the legal process so that if they are jailed, they can receive rehabilitation to undergo a de-radicalisation programme. Having said that, it is very difficult to rehabilitate the ideologues,” said Hasibullah.
IS returnees who subscribe to the terror group’s ideology reject the teachings of Muslim clerics who are not from IS, according to Hasibullah.
Charles Honoris, a legislator from the Indonesia Democratic Party-Struggle (PDIP), said the amendments also seek to criminalise hate speech, which he viewed as a root of terrorism.
“Police will then be able to prosecute hate speech and intolerance which are the roots of terrorism and radicalization as it spreads hatred,” Honoris told Channel NewsAsia.
Sumber: CHANNELNEWSASIA

Related Posts:

Charles: Yang Dulu Juga Utang, Hanya Hasilnya Beda


Para pengkritik pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyerang soal utang pemerintah seharusnya melihat realita bahwa pemerintah sebelum ini juga berutang untuk membangun, meskipun hasilnya jauh berbeda, kata seorang politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
"Presiden Jokowi sudah memberikan bukti konkret hasil kerjanya terkait banyaknya pembangunan infrastruktur yang merata dan dapat dirasakan oleh rakyat Indonesia," kata Charles Honoris, Senin (31/7).
Pembangunan infrastruktur, khususnya jalan, yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi merata di seluruh Indonesia, bahkan juga langsung menyentuh wilayah-wilayah perbatasan yang selama ini luput dari perhatian pemerintah pusat sebelumnya, kata Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR itu.
Menurut dia, semua tahu dan sadar betul bahwa pemerintah yang sebelumnya melakukan pembangunan infrastruktur sebagian dari utang luar negeri juga. Namun pembangunan tersebut belum merata dan hanya dirasakan di sebagian wilayah.
Charles menambahkan para haters pemerintahan Jokowi sebaiknya melihat fakta dan kebutuhan yang ada, bahwa keperluan pembiayaan kebutuhan rakyat seperti pembangunan infrastruktur yang dapat membantu perekonomian wilayah setempat dan nasional memang besar.
Dan faktanya, APBN atau sektor lain dalam negeri dinilai tidak mencukupi untuk membiayainya, ujarnya.
"Lalu, apa salahnya berutang? Justru paradigma yang semestinya dibangun adalah bagaimana meningkatkan nilai produktivitas dalam negeri dari hasil pembangunan yang sudah dilakukan oleh pemerintah," jelasnya.
Charles menambahkan bahwa dalam menentukan kebijakan utang luar negeri, pemerintah tidak bisa melakukan secara tiba-tiba, namun dengan perencanaan yang matang dan terukur untung ruginya.
Dari sudut pandang itu, Indonesia diketahui masih termasuk dalam kategori negara berkembang. Rasio utang 34% pun masih dinilai aman.
"Bank Sentral pastinya juga terus memantau perkembangan utang luar negeri, sehingga utang tersebut berperan secara optimal dalam mendukung pembiayaan pembangunan tanpa menimbulkan risiko yang dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi negara," ulasnya.
Sumber: BeritaSatu 

Related Posts: